Seperti ingin mengisi kekosongan peran 'parelemen jalanan' yang ditinggalkan
sejumlah ormas
pemuda Islam itu, maka akhir Maret (29/3) lalu sekitar dua ratus pimpinan
aktivis lembaga da'wah kampus (LDK) se-Indonesia seusai mengikuti Forum
Silaturahmi LDK ke-10 di Universiatas Malang, mencetuskan "Deklarasi Malang"
sebagai tanda kelahiran Kesatuan Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Keesokan harinya, ketua KAMMI Fahri Hamzah mengadakan jumpa pers di
Mesjid Arief Rahman Hakim
Jakarta, menyampaikan lima halaman "Pandangan Umum KAMMI atas Berbagai
Persoalan Bangsa Indonesia".
Rumusan yang cukup komprehensif tentang reformasi sempat membuat sebagian
wartawan yang hadir heran
dan curiga, ini merupakan hasil rekayasa kelompok tertentu. "Bagaimana
bisa suatu organisasi berumur
sehari mengeluarkan sikap politik yang demikian solid dan merangkum
60 LDK," tanya seorang wartawan,
seperti ditirukan kata sekertaris umum KAMMI Haryo Setyoko.
Haryo dapat memaklumi kecurigaan itu, karena jarang yang mengetahui
proses panjang 20 tahun perjalanan LDK selama ini. "KAMMI beranggotakan
individu-individu yang punya basis kultur religius, yang selama 20 aktivitasnya
di LDK terus terjadi pengutan-penguatan visi keagamaan dan juga politik,"
jelas Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UGM ini kepada Sahid saat ditemui
di Kampus Bulak Sumur, Yogyakarta.
Ada juga ynag mempertanyakan kelambatan mereka berkiprah ketimbang gerakan
kelompok lain sebe-
lumnya. Bahkan ada yang menganggap aksi KAMMI ini sekedar latah mengikuti
arus.
Terhadap suaru miring tersebut Fahri menjawab ringan,"Tidak ada masalah
bagi kami jika dikatakan ikut-ikutan, karena bagi kami, dalam Islam justru
dihargai bila mengikuti perbuatan baik, seperti halnya kita ikut shalat
bersamaan jamaah yang sedang shalat.
Gebrakan pertama KAMMI berlangsung wal bulan (10/4) dihalaman Mesjid
Al-Azhar Jakarta. Begitu selesai shalat Jum'at, sekirat 20 ribu mahasiswa-mahaiswi,
pelajar, buruh, pedagang hingga ibu-ibu rumah tangga berduyun-duyun mengikuti
Rapat Akbar Mahasiswa dan Rakyat yang berlangsung tertib dan damai.
Selain Fahri Hamzah dan Rama Pratama, dari UI, tampil pula para utusan
dari berbagai perguruan tinggi se-Jawa dan Sumatera sebagai pembicara di
atas mimbar, antara lain IAIN Syahid, UGM, Unila, Unair, Unibraw, IPB dan
ITB.
Uniknya masing-masing berbicara tentang reformasi dengan topik yang
berbeda. Ada yang khusus menyorot reformasi hukum, politik, ekonomi serta
moral dan budaya. Sepanjang aksi, kerap terdengar pekik takbir dari khalayak,
menyahuti orasi dari pembicara.
Meski gerakan mereka berprinsip anti kekerasan, pembicara yang tampil
juga mengecam keras tindakan represif yang dilakukan aparat keamanan terhadap
aksi mahasiswa. "KAMMI meminta teman-teman mahasiswa dikembalikan," tuntut
Fahri.
Lucunya ketika Fahri berteriak "Hidup ABRI!" sejumlah aparat berseragam
yang mengawasi aksi tersebut menyambut teriakan itu penuh antusias dengan
kedua tangan mengacu terkepal, tetapi sejurus kemudian jadi salah tingkah
ketika mengetahui tingkahnya jadi tontonan massa.
Aksi keprihatinan tersebut ditutup dengan do'a yang dibacakan utusan
mahasiswa Universitas Islam As-Syafiiyah Jakarta, diiringi tangis haru
sejumlah peserta dan rintik hujan sore hari.
Beberapa hari sesudah itu KAMMI langsung menggelar aksi yang hampir
sama di Masjid Kampus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dan Universitas
Brawijaya (Unibraw) Malang yang menyedot massa tidak kalah banyak. Bahkan
ketika digelar di kampus Universitas Diponegoro (Undip) akhir April (25/4),
puluhan ribu mahasiswa se_Jateng dan DI Yogyakarta menjadikan Kampus Pleburan
Semarang itu lautan jilbab dan ikat kepala hijau. Tidak lupa sebelum acara
dimulai, digemakan takbir dan shalawat Badr.
Menurut rencana, Pengurus KAMMI akan terus menggelar aksi serupa diberbagai
kota. Selain berupa rapat akbar, aksi berikutnya juga akan diselingi dengan
bentuk seminar, diskusi dan dialog, termasuk dengan media asing. "Agar
tidak terjadi kesalahpahaman lagi dari mereka, dengan menyebut KAMMI sebagai
kekuatan fundamentalis," jelas Fahri.
Dari beberapa aksi unjuk rasa yang diamati Sahid, pada rapat akbar yang
digelar KAMMI di Masjid Al-Azhar tempo hari, nampak ada upaya membangun
karakter massa yang elegan, berakhlak dan tenang tapi tajam dan keras.
Menurut Haryo, hal tersebut sudah menjadi kultur dakwah LDK yang merupakan
cikal bakal KAMMI, yakni bila berhujjah harus tepat dan tegas tetapi tetap
santun. "Karena demikianlah Rasulullah mencontohkan garis perjuangannya,"
jelasnya.
Bagi KAMMI, reformasi ekonomi, politik harus dilandasi reformasi moral
atau akhlak yang kuat. Makanya itu mereka tidak terlalu ngotot menyuarakan
pergantian rezim perorangan. "Yang penting reformasi moral, poitik, ekonomi
dan hukum. Sehingga jika semua itu menuntuk pergantian orang yang berkuasa,
maka akan terjadi dengan sendirinya. Tanpa itu bisa saja orangnya diganti
tetapi sistem yang rusak jalan terus," tandas Haryo.
Kiri dan Kanan
Kepada Sahid, Dr M Amien Rais, menyatakan dukungannya kepada aksi yang
dilakukan KAMMI. "Di kampus atau di Mesjid, asalkan demi kebaikan semua
maka saya dukung." Namun, seperti dikatakan kepada Gatra, Amien Rais menolak
mengatakan aksi-aksi itu berwarna 'hijau'. "Itu tak benar. Semua orang,
kalau dadanya dibelah pasti merah putih. Saya kira tak bertanggung jawab
di kampus ada merah, putih, hijau dan seterusnya," tegas Ketua Umum PP
Muhamaddiyah ini.
Penegasan Amien agaknya berseberangan dengan pemetaan yang dibuat Fadli
Zon, Direktur eksekutif Institut for Policy Studies (IPS). Politikus muda
ini meyakini, hingga kini gerakan mahasiswa masih tersekat oleh tiga warna
utama, yakni hijau (Islam), merah (kekiri-kirian) dan independen.
Menurut Fadli, dalam aksi kerap ada gabungan antara merah-independen
atau hijau independen. "Tapi kelompok hijau hampir tidak pernah berkoalisi
dengan kelompok merah," kata alumnus Jurusan Sastra Rusia UI ini kepada
Gatra.
Penegasan ketua SM Unmuh Malang, Julio T Pinto menguatkan pendapat Fadli
bahwa ideologi gerakan antar kelompok mahasiswa masih menjadi hal yang
prinsip bagi banyak kalangan. "Aksi mahasiwa memang telah berlangsung lama
tetapi baru kali ini saya mau berpidato, karena baru pada demo yang diselenggarakan
KAMMI ini jelas arah perjuangannya. Sedangkan yang lainnya tidak jelas,
meski sama-sama menyuarakan reformasi," tegasnya.
Muhammad Yulianto, Ketua Umum Badko HMI Wilayah jawa bagian Tengah juga
tidak menampik adanya sekat demikian. "Itu suatu hal yang wajar dan merupakan
dinamika yang khas pergerakan mahasiswa."
Menurutnya kelompok kiri bisasaya menginginkan perubahan masyarakat
menjadi egaliter secara cepat dan tidak ada nuansa agama dalam gerakan-gerakannya.
Meski begitu mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi UNS ini berharap, perbedaan
ideologi itu tidak menjadi sesuatu yang saling melemahkan atau memecahkan
solidaritas mahasiswa.
Yang senada dengan Amien adalah Prof Zainuddin Taha, Guru besar Universtas
Hasanuddin (Unhas) ini juga melihat corak pergerakan setiap kampus cenderung
sama. "Jadi sulit menilai apakah didominasi oleh golongan agama ataukah
sosialis. Yang nampak justru persinggungan kepentingan, sehingga sulit
dipisahkan secara dikotomis."
Dari kalangan mahasiswa juga ada aspirasi serupa, seperti dilontarkan
Rama Pratama dan Ridwan rasyid Baswedan, ketua Dewan Permusyawaratan Mahasiswa
(DPM) Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Mantan Ketua Kesatuan Aksi Pemuda dan pelajar Indonesia (KAPPI) HM Husni
Thamrin dan Ketua Harian Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam
(KISDI) Ahmad Soemargono termasuk yang menyambut baik kiprah KAMMI. Namun
keduanya berharap, dalam langkah selanjutnya KAMMI tidak berjalan sendirian
dalam menjalankan aksi-aksinya. "Agar gerakan mereka dapat lebih kuat,
mereka perlu melakukan kerja sama atau aliansi dengan kelompok lain (termasuk
kelompok independen, red)," harap Husni.
Nampaknya yang paling 'galak' diantara mereka adalah LMMY (Liga Mahasiswa
Muslim Yogyakarta), yakni aliansi mahasiswa-mahasiswa yang aktif berbagai
gerakan mahasiswa ekstra kampus seperti HMI, PII dan sebagainya. Seperti
diungkapkan Republika, aksi turun kejalan yang mereka seenggarakan menjadi
aksi paling berdarah dari berbagai aksi mahasiswa Yogya. Akibat bentrokan
dengan aparat, 12 orang cidera dan 14 orang dikabarkan hilang atau tertangkap.
Basis Mesjid dan Kampus
Hingga akhir April lalu, aparat keamanan tetap tidak mengijinkan aksi
mahasiswa tuturn ke jalan. Hampir setiap aksi unjuk rasa, ratusan pasukan
anti huru-hara senantiasa bersiap dimulut gerbang kampus, menghadap setiap
usaha mahasiswa melakukan long march, walau hanya beberapa ratus meter.
Namun dari semua itu, yang paling leluasa bergerak diluar kampus hanya
aksi massa yang diselenggarakan KAMMI. Kalaupun pasukan keamanan hadir
dalam acara mereka, yang dilakukan tidak lebih sekedar memantau.
Menanggapi hal ini, Eep Saefulloh fatah melihat ada dua variabel besar
yang bertemu dalam KAMMI, yakni kampus dan mesjid. Kampus merupakan ruang
yang relatif aman untuk bergerak ditengan kokohnya negara. Sedangkan Masjid
adalah simbol primordial yang kini memperoleh ruang yang sama amannya dengan
kampus. "Saat ini Masjid merupakan suatu tempat dimana kalangan Islam sedang
diberi ruang untuk berpolitik," katanya. Menurutnya, KAMMI berhasil memanfaatkan
dua variabel itu dengan baik. "Mereka muncul dari basis kampus dan bergerak
ke Masjid".
Karenanya ia memandang KAMMI berpotensi menjadi kekuatan yang diperhitungkan.
"KAMMI memilki massa yang besar dean berkemampuan membangun jaringan kekuatan
yag luas di luar kampus," ramal Eep.
Namun optimisme ini perlu menyertakan antisipasi yang matang. Karena
seperti ditengarai Husni Thamrin, ruang aman itu sangat bernilai nisbi,
tergantung bandul kekuasaan yang sedang diayun penguasa, sedang dicondongkan
kearah mana.
Masjid kini menjadi ruang yang aman. Tapi jangan segera lupa pada sejarah;
sekian tahun silam, justru dari masjid pula pernah terjadi insiden berdarah.