Selasa, 14 Februari 2012

KAMMI


        Seperti ingin mengisi kekosongan peran 'parelemen jalanan' yang ditinggalkan sejumlah ormas
pemuda Islam itu, maka akhir Maret (29/3) lalu sekitar dua ratus pimpinan aktivis lembaga da'wah kampus (LDK) se-Indonesia seusai mengikuti Forum Silaturahmi LDK ke-10 di Universiatas Malang, mencetuskan "Deklarasi Malang" sebagai tanda kelahiran Kesatuan Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Keesokan harinya, ketua KAMMI Fahri Hamzah mengadakan jumpa pers di Mesjid Arief Rahman Hakim
Jakarta, menyampaikan lima halaman "Pandangan Umum KAMMI atas Berbagai Persoalan Bangsa Indonesia".

Rumusan yang cukup komprehensif tentang reformasi sempat membuat sebagian wartawan yang hadir heran
dan curiga, ini merupakan hasil rekayasa kelompok tertentu. "Bagaimana bisa suatu organisasi berumur
sehari mengeluarkan sikap politik yang demikian solid dan merangkum 60 LDK," tanya seorang wartawan,
seperti ditirukan kata sekertaris umum KAMMI Haryo Setyoko. 

Haryo dapat memaklumi kecurigaan itu, karena jarang yang mengetahui proses panjang 20 tahun perjalanan LDK selama ini. "KAMMI beranggotakan individu-individu yang punya basis kultur religius, yang selama 20 aktivitasnya di LDK terus terjadi pengutan-penguatan visi keagamaan dan juga politik," jelas Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UGM ini kepada Sahid saat ditemui di Kampus Bulak Sumur, Yogyakarta.
Ada juga ynag mempertanyakan kelambatan mereka berkiprah ketimbang gerakan kelompok lain sebe-
lumnya. Bahkan ada yang menganggap aksi KAMMI ini sekedar latah mengikuti arus. 

Terhadap suaru miring tersebut Fahri menjawab ringan,"Tidak ada masalah bagi kami jika dikatakan ikut-ikutan, karena bagi kami, dalam Islam justru dihargai bila mengikuti perbuatan baik, seperti halnya kita ikut shalat bersamaan jamaah yang sedang shalat.
Gebrakan pertama KAMMI berlangsung wal bulan (10/4) dihalaman Mesjid Al-Azhar Jakarta. Begitu selesai shalat Jum'at, sekirat 20 ribu mahasiswa-mahaiswi, pelajar, buruh, pedagang hingga ibu-ibu rumah tangga berduyun-duyun mengikuti Rapat Akbar Mahasiswa dan Rakyat yang berlangsung tertib dan damai.
Selain Fahri Hamzah dan Rama Pratama, dari UI, tampil pula para utusan dari berbagai perguruan tinggi se-Jawa dan Sumatera sebagai pembicara di atas mimbar, antara lain IAIN Syahid, UGM, Unila, Unair, Unibraw, IPB dan ITB. 

Uniknya masing-masing berbicara tentang reformasi dengan topik yang berbeda. Ada yang khusus menyorot reformasi hukum, politik, ekonomi serta moral dan budaya. Sepanjang aksi, kerap terdengar pekik takbir dari khalayak, menyahuti orasi dari pembicara. 

Meski gerakan mereka berprinsip anti kekerasan, pembicara yang tampil juga mengecam keras tindakan represif yang dilakukan aparat keamanan terhadap aksi mahasiswa. "KAMMI meminta teman-teman mahasiswa dikembalikan," tuntut Fahri. 

Lucunya ketika Fahri berteriak "Hidup ABRI!" sejumlah aparat berseragam yang mengawasi aksi tersebut menyambut teriakan itu penuh antusias dengan kedua tangan mengacu terkepal, tetapi sejurus kemudian jadi salah tingkah ketika mengetahui tingkahnya jadi tontonan massa. 

Aksi keprihatinan tersebut ditutup dengan do'a yang dibacakan utusan mahasiswa Universitas Islam As-Syafiiyah Jakarta, diiringi tangis haru sejumlah peserta dan rintik hujan sore hari. 

Beberapa hari sesudah itu KAMMI langsung menggelar aksi yang hampir sama di Masjid Kampus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dan Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang yang menyedot massa tidak kalah banyak. Bahkan ketika digelar di kampus Universitas Diponegoro (Undip) akhir April (25/4), puluhan ribu mahasiswa se_Jateng dan DI Yogyakarta menjadikan Kampus Pleburan Semarang itu lautan jilbab dan ikat kepala hijau. Tidak lupa sebelum acara dimulai, digemakan takbir dan shalawat Badr. 

Menurut rencana, Pengurus KAMMI akan terus menggelar aksi serupa diberbagai kota. Selain berupa rapat akbar, aksi berikutnya juga akan diselingi dengan bentuk seminar, diskusi dan dialog, termasuk dengan media asing. "Agar tidak terjadi kesalahpahaman lagi dari mereka, dengan menyebut KAMMI sebagai kekuatan fundamentalis," jelas Fahri. 

Dari beberapa aksi unjuk rasa yang diamati Sahid, pada rapat akbar yang digelar KAMMI di Masjid Al-Azhar tempo hari, nampak ada upaya membangun karakter massa yang elegan, berakhlak dan tenang tapi tajam dan keras. 

Menurut Haryo, hal tersebut sudah menjadi kultur dakwah LDK yang merupakan cikal bakal KAMMI, yakni bila berhujjah harus tepat dan tegas tetapi tetap santun. "Karena demikianlah Rasulullah mencontohkan garis perjuangannya," jelasnya. 

Bagi KAMMI, reformasi ekonomi, politik harus dilandasi reformasi moral atau akhlak yang kuat. Makanya itu mereka tidak terlalu ngotot menyuarakan pergantian rezim perorangan. "Yang penting reformasi moral, poitik, ekonomi dan hukum. Sehingga jika semua itu menuntuk pergantian orang yang berkuasa, maka akan terjadi dengan sendirinya. Tanpa itu bisa saja orangnya diganti tetapi sistem yang rusak jalan terus," tandas Haryo. 

Kiri dan Kanan
Kepada Sahid, Dr M Amien Rais, menyatakan dukungannya kepada aksi yang dilakukan KAMMI. "Di kampus atau di Mesjid, asalkan demi kebaikan semua maka saya dukung." Namun, seperti dikatakan kepada Gatra, Amien Rais menolak mengatakan aksi-aksi itu berwarna 'hijau'. "Itu tak benar. Semua orang, kalau dadanya dibelah pasti merah putih. Saya kira tak bertanggung jawab di kampus ada merah, putih, hijau dan seterusnya," tegas Ketua Umum PP Muhamaddiyah ini. 

Penegasan Amien agaknya berseberangan dengan pemetaan yang dibuat Fadli Zon, Direktur eksekutif Institut for Policy Studies (IPS). Politikus muda ini meyakini, hingga kini gerakan mahasiswa masih tersekat oleh tiga warna utama, yakni hijau (Islam), merah (kekiri-kirian) dan independen. 

Menurut Fadli, dalam aksi kerap ada gabungan antara merah-independen atau hijau independen. "Tapi kelompok hijau hampir tidak pernah berkoalisi dengan kelompok merah," kata alumnus Jurusan Sastra Rusia UI ini kepada Gatra. 

Penegasan ketua SM Unmuh Malang, Julio T Pinto menguatkan pendapat Fadli bahwa ideologi gerakan antar kelompok mahasiswa masih menjadi hal yang prinsip bagi banyak kalangan. "Aksi mahasiwa memang telah berlangsung lama tetapi baru kali ini saya mau berpidato, karena baru pada demo yang diselenggarakan KAMMI ini jelas arah perjuangannya. Sedangkan yang lainnya tidak jelas, meski sama-sama menyuarakan reformasi," tegasnya. 

Muhammad Yulianto, Ketua Umum Badko HMI Wilayah jawa bagian Tengah juga tidak menampik adanya sekat demikian. "Itu suatu hal yang wajar dan merupakan dinamika yang khas pergerakan mahasiswa."
Menurutnya kelompok kiri bisasaya menginginkan perubahan masyarakat menjadi egaliter secara cepat dan tidak ada nuansa agama dalam gerakan-gerakannya. Meski begitu mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi UNS ini berharap, perbedaan ideologi itu tidak menjadi sesuatu yang saling melemahkan atau memecahkan solidaritas mahasiswa. 

Yang senada dengan Amien adalah Prof Zainuddin Taha, Guru besar Universtas Hasanuddin (Unhas) ini juga melihat corak pergerakan setiap kampus cenderung sama. "Jadi sulit menilai apakah didominasi oleh golongan agama ataukah sosialis. Yang nampak justru persinggungan kepentingan, sehingga sulit dipisahkan secara dikotomis."
Dari kalangan mahasiswa juga ada aspirasi serupa, seperti dilontarkan Rama Pratama dan Ridwan rasyid Baswedan, ketua Dewan Permusyawaratan Mahasiswa (DPM) Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. 
Mantan Ketua Kesatuan Aksi Pemuda dan pelajar Indonesia (KAPPI) HM Husni Thamrin dan Ketua Harian Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) Ahmad Soemargono termasuk yang menyambut baik kiprah KAMMI. Namun keduanya berharap, dalam langkah selanjutnya KAMMI tidak berjalan sendirian dalam menjalankan aksi-aksinya. "Agar gerakan mereka dapat lebih kuat, mereka perlu melakukan kerja sama atau aliansi dengan kelompok lain (termasuk kelompok independen, red)," harap Husni. 

Nampaknya yang paling 'galak' diantara mereka adalah LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta), yakni aliansi mahasiswa-mahasiswa yang aktif berbagai gerakan mahasiswa ekstra kampus seperti HMI, PII dan sebagainya. Seperti diungkapkan Republika, aksi turun kejalan yang mereka seenggarakan menjadi aksi paling berdarah dari berbagai aksi mahasiswa Yogya. Akibat bentrokan dengan aparat, 12 orang cidera dan 14 orang dikabarkan hilang atau tertangkap. 

Basis Mesjid dan Kampus
Hingga akhir April lalu, aparat keamanan tetap tidak mengijinkan aksi mahasiswa tuturn ke jalan. Hampir setiap aksi unjuk rasa, ratusan pasukan anti huru-hara senantiasa bersiap dimulut gerbang kampus, menghadap setiap usaha mahasiswa melakukan long march, walau hanya beberapa ratus meter. 

Namun dari semua itu, yang paling leluasa bergerak diluar kampus hanya aksi massa yang diselenggarakan KAMMI. Kalaupun pasukan keamanan hadir dalam acara mereka, yang dilakukan tidak lebih sekedar memantau. 

Menanggapi hal ini, Eep Saefulloh fatah melihat ada dua variabel besar yang bertemu dalam KAMMI, yakni kampus dan mesjid. Kampus merupakan ruang yang relatif aman untuk bergerak ditengan kokohnya negara. Sedangkan Masjid adalah simbol primordial yang kini memperoleh ruang yang sama amannya dengan kampus. "Saat ini Masjid merupakan suatu tempat dimana kalangan Islam sedang diberi ruang untuk berpolitik," katanya. Menurutnya, KAMMI berhasil memanfaatkan dua variabel itu dengan baik. "Mereka muncul dari basis kampus dan bergerak ke Masjid". 

Karenanya ia memandang KAMMI berpotensi menjadi kekuatan yang diperhitungkan. "KAMMI memilki massa yang besar dean berkemampuan membangun jaringan kekuatan yag luas di luar kampus," ramal Eep.
Namun optimisme ini perlu menyertakan antisipasi yang matang. Karena seperti ditengarai Husni Thamrin, ruang aman itu sangat bernilai nisbi, tergantung bandul kekuasaan yang sedang diayun penguasa, sedang dicondongkan kearah mana. 

Masjid kini menjadi ruang yang aman. Tapi jangan segera lupa pada sejarah; sekian tahun silam, justru dari masjid pula pernah terjadi insiden berdarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar