Kamis, 09 Februari 2012

Belajar kepada Aidit dan Natsir


MUNGKIN tak sedikit di antara Anda yang pernah membaca atau mendengar persahabatan atau pertemanan unik antara Ketua Commitee Central (CC) PKI, D.N. Aidit, dengan Ketua Umum Partai Masyumi, M. Natsir.

Kedua tokoh terkemuka pada era pra-Orde Baru itu dikenal sebagai pemimpin tertinggi dua partai yang secara ideologis sangat berseberangan. Yaitu PKI yang beraliran komunis dan Masyumi yang dikenal sebagai Partai Islam modernis. Secara politik, sikap kedua partai ini juga kerap berbeda, bahkan bertabrakan.

Akan tetapi, sikap keduanya sering menjadi rujukan bagaimana seharusnya memupuk kedewasaan dalam berpolitik. Walaupun Aidit dan Natsir secara politik bisa dibilang bermusuhan, namun di luar urusan politik mereka tetap bisa menjalin tali silaturahmi. Dua tokoh itu dulu diketahui sering menjadi teman ngerumpi di kafe DPR, sembari minum kopi bersama. Ini biasa mereka lakukan pada waktu senggang, di sela-sela agenda persidangan DPR yang justru mempertemukan mereka sebagai musuh politik bebuyutan.

Apa yang dilakukan Pak Natsir dan Pak Aidit di kantin DPR tadi sangat manusiawi dan justru mencerminkan kedewasaan dalam berpolitik. Manusiawi, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu ingin bertegur sapa atau menjalin silaturahmi dengan sesamanya. Sedangkan disebut dewasa karena keduanya dapat mempraktekkan etika politik yang tinggi atau beradab: yakni bahwa perbedaan sikap atau pilihan politik mestinya tidak harus menjadikan para pelakunya bermusuhan dalam segala bidang kehidupan.

Teladan itulah yang harusnya dapat kita petik dari mereka. Apalagi jika kita sudah mengamini bahwa demokrasi merupakan tatanan final yang harus dijalani oleh bangsa dan negara kita, maka teladan Aidit dan Natsir tadi lebih kental letak pentingnya. Karena demokrasi, suka atau tidak, selalu meniscayakan adanya perbedaan pilihan politik atau ideologi. Tanpa kedewasaan dalam menyikapi perbedaan sikap atau pilihan politik, maka demokrasi dapat berujung pada kekerasan, seperti bisa kita lihat dalam fenomena yang menyertai praktek demokrasi di beberapa negara seperti India, Filipina, atau Pakistan.

Kekerasan tadi sejatinya berlawanan dengan hakekat dan tujuan demokrasi. Karena justru sebetulnya salah satu tujuan demokrasi ialah mengakomodasi perbedaan-perbedaan pilihan politik di tengah masyarakat melalui mekanisme perwakilan. Perbedaan sikap atau pilihan politik yang sebelumnya meletup menjadi konflik di jalanan, yang rentan menjadi ledakan kekerasan horizontal, ditransformasikan menjadi perdebatan atau tarik menarik kepentingan melalui sidang-sidang parlemen.

Dengan demikian, salah satu fungsi sistem perwakilan yang menyertai demokrasi, adalah dalam rangka mengendalikan potensi konflik di tengah masyarakat. Demokrasi memungkinkan aspirasi publik yang berbeda-beda tadi ditata sedemikian rupa dan disalurkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Fenomena Awam


Melihat para tokoh atau pemimpin partai yang bermusuhan secara politik tapi dapat akrab bertemu sebagai sesama dua anak manusia atau warga bangsa, seperti diperlihatkan Aidit atau Natsir tadi, kadang-kadang masih sulit dimengerti masyarakat awam. Sebagian masyarakat pendukung partai tersebut, terutama di lapisan bawah yang sangat militan tapi kurang terdidik, sering bingung dan bertanya-tanya sendiri: misalnya, kok Aidit yang komunis bisa rukun dengan Pak Natsir yang antikomunis? Mereka menganggap bahwa dua tokoh politik yang berseberangan sepertinya harus tetap bermusuhan di luar urusan politik.

Massa pendukung sering curiga bahwa pertemuan dua tokoh politik berbeda pasti ada apa-apanya, atau memiliki “deal-deal” politik tersendiri. Kecurigaan serupa baru-baru ini juga ditujukan kepada saya pribadi, tatkala saya menghadiri acara buka bersama yang digelar oleh Menpora Andi Mallarangeng, di Kantor Menpora yang bertetangga dengan Gedung DPR. Saya sendiri sebetulnya tak terlalu suka mendatangi acara ramai-ramai macam buka bersama. Ini karena pada dasarnya saya kadang agak introvert alias “kurang gaul” istilah anak-anak sekarang.

Namun karena diminta menemani rekan sekantor, terlebih hanya berjalan kaki untuk menuju lokasi, saya pun ikut datang. Kebetulan Menpora Andi Mallarangeng adalah kakak kelas saya di Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ,UGM. Saya sendiri sudah kenal Mas Andi, sejak saya masih wartawan dan Mas Andi belum menjadi menteri. Jadi kedatangan saya semata-mata silaturahmi belaka. Tak ada kaitannya untuk “membebek” kepada pemerintah atau SBY sebagaimana dituduhkan salah satu kawan Facebooker saya yang anti-pemerintah tadi.

Sepulang dari buka bersama, tak ada perubahan sikap politik apa pun pada diri saya. Karena memang tak ada “deal-deal” atau lobi politik yang dilakukan. Bahkan, karena saking banyaknya undangan, saya malah tak sempat berbincang dengan Pak Menteri, kecuali sekadar salaman dan “say hello.”

Hatta, Hamka, dan Bung Karno

Apa yang saya lakukan tadi, dilihat dari segi politik sebetulnya biasa saja. Jika pun bisa disebut membebek, maka saya membebek kepada teladan para bapak bangsa, seperti Natsir, Bung Hatta, juga ulama terkemuka, Buya Hamka.

Mungkin kasusnya tidak se-ekstrem pertemanan Natsir dan Aidit, akan tetapi kisah Hatta dan Bung Karno juga menunjukkan kualitas etika politik yang tinggi. Walaupun Hatta mundur dari posisi sebagai wapres karena kecewa dengan kebijakan Bung Karno menerapkan demokrasi terpimpin, namun di luar urusan kenegaraan, Hatta tetap menjadi sahabat dan rekan “curhat” Bung Karno. Bahkan ketika Bung Karno jatuh dari kekuasaan dan menjadi tahanan rezim Orde Baru-Soeharto, Hattalah salah satu orang yang paling perhatian dan rajin membezuk Bung Karno.

Demikian pula dengan sikap Buya Hamka. Ulama sekaligus sastrawan terkemuka ini pernah dijebloskan ke dalam penjara oleh Bung Karno, karena mengkritik demokrasi terpimpin dan kedekatan Bung Karno dengan PKI. Akan tetapi, ketika Bung Karno meninggal, Hamkalah yang menjadi imam salat jenazah bagi Bung Karno.
Banyak kalangan anti-Bung Karno yang meminta Hamka agar tidak menyalatkan Bung Karno saat itu. Tetapi desakan itu tidak dikabulkan Hamka. Dan Hamka tetap pada pilihannya untuk menyalatkan Bung Karno, karena disalatkan saat meninggal dunia adalah salah satu hak seorang Muslim yang harus ditunaikan oleh sesama Muslim lainnya yang masih hidup.Karena sampai meninggalnya Bung Karno tetap Muslim, maka tak ada alasan untuk tidak menyalatkannya.

Tindakan Hamka ini juga memperlihatkan mutu adab berpolitik yang sangat tinggi. Pemenjaraan kepada dirinya oleh rezim Soekarno tidak menimbulkan dendam pada diri Hamka, sehingga tidak menghalanginya untuk tetap berpikir jernih. Perselisihan politiknya dengan Bung Karno tidak membuat ulama besar dari Sumatera Barat ini melupakan kewajibannya sebagai sesama Muslim kepada almarhum Bung Karno, yakni menyalatkan dan mendoakan ketika yang bersangkutan tiba saatnya dipanggil kembali ke pangkuan Ilahi.

Demikianlah sebagian pelajaran yang bisa kita petik dari para pendahulu bangsa kita. Menjadi tugas kita sebagai generasi penerus untuk mengambil yang baik dan mengesampingkan yang buruk. Dan salah satu yang baik untuk diteruskan adalah teladan bahwa perbedaan sikap atau pilihan politik tidak seharusnya menghalangi kita untuk tetap merajut tali silaturahmi, saling menghormati, bahkan juga mendoakan yang terbaik bagi mereka yang berbeda pilihan dengan diri kita. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar